Thursday, February 25, 2010

Berita Media Indonesia by M Abdullah Rosyid (dkk) 1

Abaikan Perspektif Intelijen
Vonis Antasari Bisa Keliru

Jakarta/MI/10 Februari 2010-Intelijen diduga berperan dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Jika mengabaikan perspektif tersebut, bisa berakibat vonis hakim keliru.

HINGGA nyaris tiba di penghujung proses persidangan kasus pembunuhan Dirut Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, sejumlah hal masih menjadi misteri.

Menurut mantan Direktur Badan Intelijen Negara AC Manulang, kondisi itu antara lain terjadi karena kajian intelijen tidak digunakan sebagai salah satu perspektif dalam persidangan itu. "Dalam kasus pembunuhan Nasrudin diperlukan bedah kasus dari sisi intelijen. Sebab tampaknya dalam kasus ini, Rani dijadikan umpan untuk menjebak mantan Ketua KPK. Ini nyaris serupa dengan kasus Munir." Lantaran itulah, AC Manulang mengaku prihatin jika pada akhirnya majelis hakim menjatuhkan vonis tanpa terlebih dulu mendengar keterangan dari intelijen. "Saya kasihan kepada majelis hakim yang harus memutuskan vonis tanpa mendengar keterangan dari pihak intelijen. Sebab itu memungkinkan majelis hakim menjatuhkan putusan yang keliru," ujarnya.

Kasus itu bermula dari tertembaknya Nasrudin di Jl Hartono Raya, Modern Land, Tangerang, pada 14 Maret 2009 sekitar pukul 14.30 WIB. Akibat tembakan senjata api itu, Nasrudin meninggal dunia pada keesokan harinya.

Berselang 45 hari, tepatnya pada 29 April 2009, tim Mabes Polri dan Polda Metro Jaya menetapkan sembilan tersangka minus Antasari. Nama Antasari baru mencuat ke permukaan setlah pengumuman dari Kejaksaan Agung pada 1 Mei 2009. Instansi itu menyebut Antasari sebagai tersangka dan aktor intelektual dalam kasus itu. Publikasi atas itu sempat mengundang pro dan kontra karena mendahului penetapan resmi dari Polda Metro Jaya yang baru dilakukan pada 4 Mei 2009. Dari rangkaian persidangan kasus itu di PN Jakpus sejak 8 Oktober 2009, ada sejumlah hal yang masih gelap. Di antaranya, soal pengirim SMS teror. Dalam persidangan, saksi ahli yang didatangkan hanya mampu menunjukkan bahwa Antasari bukanlah pengirim SMS teror itu.

Hanya saja, menurut sumber Media Indonesia, pelaku pengirim SMS berhasil diidentifikasi. Keduanya adalah dua karyawan yang bekerja di perusahaan penerbitan milik salah satu terdakwa. "Dua karyawan itu secara bersamaan resign sejak November 2009," ungkapnya.

Hal lain yang belum terungkap adalah motif dan alasan Sigid dan Rani Juliani merekam momen-momen khusus terkait dengan Antasari.

Perkara berat

Sementara itu, mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga menilai perkara yang melibatkan Antasari itu tergolong berat. Dengan demikian, sambung dia, hakim harus berani mengambil keputusan sesuai dengan ilmu akademis dan hati nuraninya. "Pilihannya dua, hakim yakin memvonis bebas dan vonis sesuai dengan tuntutan," kata pakar hukum senior itu.

Terkait dengan teka-teki yang masih mewarnai kasus itu, Benjamin mengingatkan, jika menurut hakim fakta-fakta itu tidak dapat dibuktikan, bisa saja Antasari divonis bebas.

Secara terpisah, pakar Hukum Pidana UI Rudi Satrio memperkirakan vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada Kamis (11/2) tidak berbeda dari vonis bagi para eksekutor. "Saya kira tidak jauh dari yang di Tangerang. Maksimum 20 tahun," jelasnya.

Namun, Rudi mencermati masalah yang muncul akibat spliting atau pemisahan perkara di PN Tangerang dan PN Jakarta Selatan. "Seharusnya dijadikan satu agar relasinya dapat dibuktikan. Kalau dipisahkan relasinya tidak dapat dibuktikan," jelasnya.

Ihwal tuntutan jaksa, Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala memandang tidak ada bukti langsung untuk memberatkan Antasari sebagai pemberi perintah dalam kasus pembunuhan itu. "Selama ini yang diberikan jaksa merupakan fakta pendukung saja. Yang menurut versi pembela dapat dimentahkan di pengadilan. Jadi semua tergantung keyakinan hakim, apakah benar atau tidak."

-Adrianus Meiliala: "Selama ini yang diberikan jaksa merupakan fakta pendukung saja."

-AC Manulang: "Dalam kasus pembunuhan Nasrudin sebenarnya diperlukan bedah kasus dari sisi intelijen."

-Rudi Satrio: "Saya kira tidak jauh dari yang di Tangerang. Maksimum 20 tahun."