Sunday, December 27, 2009

Islam Kaffah

Firman Allah Ta’ala: “hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian kepada Islam secara kaaffah”(Al-Baqarah: 208).

Firman Allah Ta’ala: “apakah kamu tidak melihat kepada orang yang mengira bahwa mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan orang-orang yang sebelum kamu……”(An-Nisa: 60). Firman Allah Ta’ala: “….hari dimana wajah-wajah berwarna cerah dan hitam kelam…..”(Ali Imran: 106). Ibnu Abbas berkata: wajah-wajah ahlu sunnah dan mu’allaf akan berwarna cerah, sedangkan wajah ahlu bid’ah dan orang yang keluar dari Islam akan berwarna hitam kelam.

Dari Abdullah bin Umar ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: akan adatang pada ummatku seperti yang pernah datang pada bani Israil selangkah demi selangkah, sehingga ada diantara mereka suatu ummat yang ekstrem dan umatku melakukan hal yang seperti itu, dan jika bani Israil berpecah menjadi 72 agama----sampai sempurnanya hadits----bahwasanya ummatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: siapa yang satu itu wahai Rasul? Nabi menjawab: orang-orang yang mengikuti sunnahku dan atsar sahabat. Tidaklah nasihat itu masuk ke hati, niscaya hati itu akan hidup. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari hadist Mu’awiyah yang berbunyi: “sesungguhnya akan keluar dari ummatku suatu kaum yang hawa nafsu itu mengalir pada mereka sebagaimana virus Rabies terjangkit pada korban, maka tidaklah tersisa dari keringat atau sendi kecuali dimasukinya.

Wallahu A'lam

Thursday, March 19, 2009

firqah

Perpebedaan dan perpecahan

Hakikat perpecahan dan bahaya perbedaan pada ummat Islam

"Berjama'ah itu rohmat dan perpecahan adalah adzab"(HR Muslim)

Perpecahan yang terjadi diantara ummat islam, permusuhan antar golongan, dan terjadinya saling tahdzir adalah merupakan satu dari bentuk salah mengaplikasikan makna aqidah loyalitas dan berlepas diri (al wala wal baro). Setiap golongan yang mengatasnamakan perjuangannya untuk mengangkat derajat ummat Islam tahu persis tentang ukhuwah dan aqidah al wala wal bara.

Kita harus berhati-hati, jika kita tidak mau terjerumus dalam "kekafiran". Meskipun hal ini tidak jarang akan memperuncing hubungan antar golongan ummat islam sendiri, yang sangat mungkin sekali akan dimanfaatkan oleh pihak musuh, sehingga mereka tertawa riang melihat ummat islam saling tunjuk muka dan saling benci.

Dalam praktik pengkajian islam, kita tidak bisa terlepas dari ikhtilaf. Para imam dan ulama terdahulu pun, tidak terlepas dari ikhtilaf dan berbeda pendapat tentang suatu hukum. Tapi, hal itu tidak menjadikannya untuk saling mencabut simpati, semisal memperingatkan muridnya untuk tidak berguru dengan ulama yang tidak sefaham dengan apa yang difahami guru atau syaikhnya. Mengapa demikian? Karena para ulama tahu betul bahwa itu sudah menjadi sunnatullah, dan itu bukan suatu masalah besar yang harus menjadikan perpecahan diantara mereka.

Imam As Syafi’i berpendapat tentang disyariatkannya qunut dalam sholat shubuh. Pendapat ini tidak banyak diamini oleh ulama besar lain, tapi, siapa ulama yang mengatakan atau menghukumi beliau sebagai seorang ahlul bid’ah, atau penggagas ibadah baru tanpa contoh dari Rasulullah. Tidak demikian.

Sekarang, satu diantara keprihatinan yang terjadi adalah, menyikapi perbedaan dengan menjatuhkan vonis salah pada pihak lain. Ada lagi yang lebih ekstrim, tidak hanya sebatas menghukumi sebagai sebuah kesalahan, terkadang sudah sampai pada mengeluarkan pernyataan yang mampu memantik permusuhan. Sekali lagi, padahal itu adalah ikhtilaf.

Hal ini dapat memantik permusuhan dan sikap acuh tak acuh antar umat Islam karena biasanya hal itu dilakukan oleh seorang yang memiliki banyak pengikut atau jamaah. Sehingga, apa yang mereka keluarkan bisa menjadi kartu bagi jamaahnya untuk ikut memvonis orang yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Atau lebih dari itu, terkadang hanya karena satu perbedaan, seorang ulama dianggap bukan lagi seorang ulama yang layak dihargai, malah layak dihujat dan diremehkan. Padahal, belum tentu kebenaran berada di pihak yang menjatuhkan vonis kepada ulama tersebut.

Seandainya pendapat Yusuf Qaradawi salah, maka itu adalah suatu hal yang wajar karena manusia tidak ada yang ma’shum, terbebas dari kesalahan. Lalu, apakah dengan kesalahan tersebut, kemudian semua pendapat beliau tertolak? Ataukah kepakaran beliau dalam fiqh waqi’, fiqh aulawiyat, dan pendapat-pendapat beliau yang lain menjadi tidak lagi diakui dan tidak bisa diikuti hanya karena beberapa kesalahan beliau dalam berpendapat? Itu apabila ternyata pendapat beliau adalah salah, bagaimana kalau sebaliknya?

Berpecah diatas perbedaan, apalagi masalah furu’ bukan merupakan solusi bagi semua pihak yang mengklaim sedang berjuang di jalan Allah untuk menegakkan Islam. Bagaimana mungkin kekuatan akan menjadi besar dan bersatu, ketika hanya dengan kesalahan yang sudah merupakan sunnatullah, antar satu dengan yang lain mengklaim bukan dari golongan kami? Mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahan kita, dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus menuju keridhoanNya. Amin


Friday, January 23, 2009

CINTA SEJATI



“Katakanlah: jika bapak-bapak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu sukai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya."( QS At Taubah ayat 24)
Cinta adalah panggilan hati, ekspresi dan sebuah konsekuensi. Islam memandang hal ini sebagai cinta Ilahi, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para sahabat. Sebagai seorang muslim sebenarnya kita tidak perlu bingung mengartikan cinta, karena semuanya telah diatur dalam Al Quran dan Hadits. Islam menempatkan cinta sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat di atas. Dan Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang fasiq.
Berdasarkan ayat tersebut dapat kita buat hirarki cinta sebagai berikut: Mahabbatullah wa Rasulullah (mencintai Allah dan Rasul-Nya), Mahabbatunnaas (mencintai manusia) dan Mahabbatul maal (mencintai harta).
Dalam perspektif substansinya, mahabbatullah disebut sebagai cinta ilahi, cinta langit atau cinta primer, sedangkan mahabbatunnas dan mahabbatul mal disebut cinta makhluk, cinta bumi atau cinta sekunder. Al Jauziyah menggambarkan betapa tulusnya cinta melalui syairnya:
“Kupunya sekeping hati yang ditebari cinta
Karena cinta dia rela menghadap penyiksa
Cinta merebut dirimu dengan pengorbanan jiwa
Kan kutebus pula sesuatu diatas jiwa”
Sedangkan dalam hubungannya dengan cinta makhluk, Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. telah memberikan nasehat kepada kita: “Cintailah kekasih Anda sekadarnya saja, karena bisa jadi pada suatu hari dia akan menjadi orang yang membencimu. Dan bencilah orang yang membencimu sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu hari dia akan menjadi kekasih Anda”.
Kita sering mengalami kesulitan untuk mendefinisikan cinta. Seperti syair lagu Michael Bolton “…you don’t know what is love...”. Karena terlalu sulitnya memahami apa itu cinta, ada yang menyebut “cinta adalah misteri”.
Menarik memang membahas masalah cinta, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menerbitkan sebuah kitab cinta yang berjudul “Raudhah Al Muhibbin wa Nuhzah Al Musytaqin”. Kitab ini mengartikan cinta dalam tiga pengertian, yakni : seperti singa dan pedang, bencana besar,serta seperti arak yang memabukkan.
Dramatis memang pengertian cinta ini, seolah cinta itu tidak ada yang berkonotasi positif. Tiga pengertian ini menyatu di dalam cinta, sehingga muncul hampir enam puluh istilah untuk cinta, diantaranya adalah: kasih sayang (al-mahabbah), kerinduan (as sabwah), nafsu (al hawa), cinta yang membara (al jawa), sakit karena cinta (ad danafu), derita (al wasabu), kasih yang tulus (al wuddu) dan sahabat (al khilmu).
Tapi benarkah tidak ada definisi cinta yang baku sehingga kita selalu mencari dan bingung mengartikan cinta? Atau sebenarnya cinta adalah sesuatu yang sangat relatif sehingga bisa diartikan oleh siapa saja sesuai dengan keinginannya. Seperti yang sering disitir oleh para penyair ”biarkan cinta tetap cinta”?
Memahami apa itu cinta adalah sesuatu yang penting, karena kegagalan memahami cinta membawa kepada kesalahan mengekspresikan cinta dalam kehidupan ini. Kesalahan itu bisa berakibat fatal seperti kasus bunuh diri sepasang kekasih dan pembunuhan istri oleh suaminya sendiri atau pelanggaran moral etika seperti sepasang ABG mesra. Kasus ini setidaknya bisa menggambarkan cinta seperti pendapat Al Jauziyah. Dan itu hanya sedikit contoh dari sekian banyak kisah cinta yang ada.
Semoga dalam menjalani kehidupan yang fana ini, kita sebagai seorang muslim tidak terjerumus kepada cinta semu yang dapat menyeret kita ke dalam neraka yang berapi-api. Hanya dengan selalu dzikrullah, kita bisa terjaga dari cinta ini. Bila kita mampu mengatur perasaan cinta kita, tidak mustahil akan mencapai cinta Ilahi yang begitu nikmat dan mampu menyelamatkan kita dari api neraka.
Berbahagialah bagi orang yang dibukakan hatinya karena cinta, cinta yang membuatnya menjadi muslim yang selalu ingat akan Allah. Celakalah bagi orang yang dibutakan hatinya karena cinta, cinta yang akan membinasakannya.
Wallahu a’lam.

Wednesday, January 21, 2009

palestine vs israel

Pendahuluan

Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung sumber daya mineral dalam jumlah yang banyak, telah menjadikan kawasan ini sebagai hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan akan energi. Tidak hanya itu, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan berasalnya tiga agama Samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan suci bagi ketiga agama. Fakta ini pula yang melatarbelakangi terjadinya Perang Salib dalam kurun waktu ratusan tahun. Dalam era modern, berbagai krisis terjadi di wilayah ini, seperti perang Iran-Irak, Irak-Kuwait, invasi Amerika Serikat ke Irak, dan konflik Palestina-Israel yang telah lebih dari lima dekade masih berlangsung hingga saat ini.

Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung di wilayah Timur Tengah (dengan mengenyampingkan Perang Salib), yang menyebabkannya menjadi perhatian utama masyarakat internasional. Sebagai contoh, konflik antara keduanya menjadi agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ketika PBB baru terbentuk dan sampai saat ini belum terselesaikan meski ratusan resolusi telah dikeluarkan. Kedua entitas politik ini telah “bertarung” di kawasan Timur Tengah semenjak berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Dalam beberapa waktu belakangan, telah terjadi serangkaian peristiwa penting yang menandai proses perdamaian antara kedua entitas ini. Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), sedang melakukan safari ke wilayah Palestina, dan melakukan dialog dengan pemimpin-pemimpin Palestina.

Perkembangan terakhir yang didapat dari perjalanan Jimmy Carter tersebut, Hamas bersedia untuk mengakui eksistensi Israel di wilayah Timur Tengah, yang menandai perubahan platform politik yang cukup fundamental dari Hamas mengingat mereka merupakan partai politik Palestina yang paling keras mengecam hadirnya Israel di wilayah Timur Tengah. Meski kemudian kabar ini dibantah oleh pemimpin Hamas, Khaled Meshaal yang mengatakan bahwa Hamas tetap dalam posisi untuk memperjuangkan negara Palestina dengan batas pada tahun 1967, yang menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Palestina, tanpa mengakui eksistensi Israel. Belum hilang dari ingatan, ketika pemerintahan George W. Bush berusaha menengahi konflik Timur Tengah dengan mengadakan Konferensi Annapolis, yang mengeluarkan rekomendasi mengenai perdamaian antara Palestina dan Israel. Konferensi ini tidak hanya dihadiri oleh perwakilan dari Palestina dan Israel, namun juga dari negara-negara lain seperti Lebanon, Suriah, Mesir, Yordania, dan negara-negara lain di Kawasan Timur Tengah. Pada tahun 2005, Ariel Sharon (Kadima) sebagai Perdana Menteri Israel pada saat itu, mengeluarkan kebijakan unilateral disengagement plan yang disetujui oleh Knesset (parlemen Israel). Dengan adanya kebijakan tersebut, seluruh pemukiman Israel yang berada di wilayah Jalur Gaza, dan beberapa di Tepi Barat (West Bank) ditarik dan dihancurkan. Kebijakan ini memang tidak langsung membuahkan perdamaian permanen antara Palestina dan Israel, tetapi setidaknya usaha untuk mewujudkan hal tersebut sudah semakin dekat.

Tetapi, konflik antara Palestina – Israel tidak bisa hanya dilihat dari kejadian 5 atau 10 tahun belakangan. Perseteruan antara kedua entitas ini telah berlangsung selama enam dekade (jika dihitung dari terbentuknya negara Israel), dan dimulainya konflik antara Palestina – Israel telah melalui latar belakang sejarah yang cukup panjang.

Periode Pra-1920 : Zionisme, Kekalahan Ottoman, dan Janji-Janji Pemenang Perang

Meskipun telah memiliki catatan sejarah dalam dokumentasi seperti Alkitab dan Alquran, Negara Israel belum terbentuk sampai pada tahun 1948. Semenjak kehancuran Kerajaan Israel dan penjajahan oleh Romawi, Israel mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat. Diaspora telah menghasilkan penyebaran umat Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Mereka berasimilasi dengan masyarakat di sekitarnya, namun tetap mempraktikkan ajaran-ajaran Yahudi. Pada awalnya, tidak ada gerakan nasionalisme Yahudi yang mempunyai tujuan untuk kembali ke tanah Israel, karena pada umumnya warga Yahudi diterima di wilayah dimana mereka berasimilasi. Tetapi, setelah munculnya pogrom di Rusia, paham anti-semit di kawasan Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus (Kapten Tentara Prancis beragama Yahudi) karena tuduhan menjadi mata-mata musuh, gerakan nasionalisme Yahudi muncul di kalangan Yahudi Eropa. Gerakan ini lazim disebut dengan Zionisme, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh seorang jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl, melalui buku berjudul Der Judenstaat. Herzl menganggap, dengan adanya diskriminasi berkepanjangan terhadap warga Yahudi di hampir seluruh wilayah Eropa, maka asimilasi bukan lagi menjadi pilihan bagi Yahudi apabila mereka ingin tetap hidup. Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme Yahudi yang berada di Eropa, sehingga mewujudkan terjadinya Aliyah dalam beberapa gelombang.

Ketika gerakan Zionisme mulai marak di kawasan Eropa, wilayah Palestina/Israel yang kita kenal pada saat ini masih berada dibawah kekuasaan Imperium Ottoman. Pada saat itu, Imperium Ottoman masih mengontrol sebagian besar wilayah di kawasan Asia Barat, mulai dari Asia Minor/Turki sampai ke seluruh semenanjung Arab. Selama kurang lebih 400 tahun, Ottoman bertahan di wilayah Timur Tengah yang kita kenal pada saat ini. Eksistensi Imperium Ottoman di kawasan Timur Tengah berakhir ketika kekalahan mereka pada Perang Dunia I. Kekalahan Ottoman bukan saja disebabkan oleh Inggris dan Prancis, namun juga oleh bangsa Arab yang berada di wilayah Ottoman. Bangsa Arab memberontak kepada Imperium Ottoman atas bantuan Inggris, yang telah menjanjikan untuk membantuk terbentuknya sebuah pemerintahan Arab yang independen apabila bangsa Arab mau melawan Ottoman. Janji dari Inggris ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Henry MacMahon (Pejabat Tinggi Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (pemimpin Arab Hashemite), yang dikenal dengan sebutan Hussein-MacMahon Correspondence.

Namun janji Inggris terhadap Arab untuk membantuk pembentukan pemerintahan Arab tidak segera diwujudkan. Inggris dan Prancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi bekas wilayah Imperium Ottoman untuk negara-negara Eropa, yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement. Dengan adanya kesepakatan tersebut, bangsa Arab tidak mendapatkan wilayah bekas Imperium Ottoman, yang secara otomatis membuat mereka tidak mungkin untuk bisa membentuk pemerintahan Arab yang independen. Dalam perjanjian tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sementara Prancis mendapatkan Turki, Irak bagian utara, Suriah, dan Lebanon. Sedangkan negara-negara lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang akan dikuasainya. Ketika dibuatnya Sykes-Picot Agreement, wilayah Palestina belum diserahkan kepada negara manapun, sehingga dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang dikelola secara bersama-sama diantara negara-negara pemenang perang.

Pada waktu yang hampir bersamaan dengan dengan pembuatan Sykes-Picot Agreement, Inggris kembali mengumbar janji kepada bangsa Yahudi dengan mendukung pendirian negara Yahudi di tanah Palestina. Dokumen ini dikenal dengan nama Balfour Declaration, yang menjadi landasan bagi gerakan Zionisme untuk mewujudkan visi terbentuknya negara Yahudi yang eksklusif dengan kembali ke tanah Palestina. Lahirnya janji-janji dari Inggris kepada Yahudi dan Arab telah melatarbelakangi konflik antara Arab dan Yahudi, yang merasa berhak dan didukung oleh Inggris.

Sykes-Picot Agreement yang dibuat antara Inggris dan Prancis ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di kawasan Timur Tengah, karena sengketa yang terus terjadi antara negara-negara yang menguasai bekas wilayah Ottoman. Akhirnya Dewan Sekutu memutuskan untuk membuat konferensi yang diadakan di San Remo, Italia, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Konferensi San Remo menghasilkan keputusan yang memberikan wilayah Palestina dan Irak kepada Inggris, sedangkan Prancis mendapatkan Suriah dan Lebanon. Keputusan ini mengikutsertakan Balfour Declaration sebagai salah satu landasan dibuatnya alokasi wilayah tersebut, disamping Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa menggunakan hasil dari Konferensi San Remo untuk membuat British Mandate of Palestine pada tahun 1920, yang menjadikan wilayah Palestina sebagai wilayah mandat yang akan dikelola oleh Inggris hingga penduduk di wilayah tersebut dapat memerintah secara otonom.

Periode 1920-1948 : Mandat Inggris hingga terbentuknya Negara Israel

Tugas yang diberikan LBB kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom, ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina, khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan oleh Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri, sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina. Dalam kurun waktu hampir 30 tahun selama pemerintahan Mandat Inggris, telah terjadi beberapa bentrokan diantara bangsa Arab dan Yahudi yang berada di wilayah Palestina, antara lain Palestine Riots 1920, Palestine Riots 1929, Arab Revolt 1936-1939, Jerusalem Riots 1947. Dalam kurun waktu ini pula, terjadi Perang Dunia II di wilayah Eropa yang telah melahirkan tragedi holocaust, sehingga semakin menguatkan niat bangsa Yahudi di Eropa untuk kembali ke tanah Palestina. Keberadaan Inggris di wilayah Palestina untuk membantu warga di Palestina menjadi otonom, justru menimbulkan resistensi dari Arab, sehingga keberadaannya tidak berfungsi maksimal dan jauh dari tujuan awal yang diharapkan ketika LBB menugaskan Inggris.

Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB, khususnya Majelis Umum, berinisiatif untuk mebuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat partisi atau pembagian wilayah Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan dibawah penguasaan Arab ataupun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB. Proposal menjadi Resolusi 181 Majelis Umum PBB, atau lebih dikenal dengan UN Partition Plan, memberikan 55% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab. Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan Arab. Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan.

Adanya penolakan dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui UN Partition Plan telah memicu kerusuhan selanjutnya di Yerusalem antara Arab dengan Yahudi (khususnya melalui pasukan paramiliter Haganah). Penolakan dari bangsa Arab telah menggagalkan proposal perdamaian ini, selain itu statusnya yang merupakan resolusi Majelis Umum PBB menjadikannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (non-legally binding).

Gagalnya Mandat Inggris dan UN Partition Plan di Palestina, tidak menghambat bangsa Yahudi untuk mewujudkan visi dari Zionisme. Pada hari yang bersamaan dengan berakhirnya Mandat Inggris, David Ben-Gurion yang mewakili Yahudi, memproklamirkan berdirinya Negara Israel, dan hanya dalam hitungan jam, Uni Sovyet dan Amerika Serikat memberikan pengakuaan terhadap negara yang baru lahir tersebut. Proklamasi kemerdekaan Israel ini menyulut kemarahan bangsa Arab, dan menimbulkan konflik bersenjata pertama antara bangsa Arab dengan Yahudi (yang kali ini telah menjadi Israel).

Periode 1948 : Konflik Tak Berujung, dan Perjanjian-perjanjian Damai yang Impoten

Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik berkepanjangan antara Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada. Namun setelah itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel. Di tengah-tengah peperangan, organisasi paramiliter Israel dilebur menjadi sebuah angkatan bersenjata yang disebut dengan Israeli Defense Forces, sehingga mereka memiliki kekuatan militer yang lebih terkomando dan rapi. Peperangan 1948 atau yang dikenal dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur. Berakhirnya perang Al Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949. Dan pada tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara ditegaskan dengan diterimanya Israel sebagai anggota PBB. Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.

Konflik bersenjata Arab dan Israel tidak berhenti di tahun 1949. Selama 17 tahun, ketegangan antara negara-negara Arab dan Israel masih terus terjadi, khususnya dari Presiden Mesir pada saat itu, yaitu Gamal Abdul Nasser. Dirinya seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berisikan tentang keinginannya untuk menghancurkan Israel. Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Tepatnya pada tanggal 5 Juni 1957, Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon. Perang yang dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian.

Kekalahan negara-negara Arab dalam Six-Days War tidak membuat konflik antara Arab dengan Israel berakhir. Pada tahun 1973, tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur oleh Yahudi, kembali terjadi konflik bersenjata antara Arab dengan Israel. Yom Kippur War menjadi puncak konflik bersenjata antara Arab dan Israel. Dalam perang ini, Bangsa Arab berhasil membalas kekalahannya dari Israel. Serbuan negara-negara Arab berhasil melumpuhkan Israel, meski Israel tidak dikalahkan secara telak. Perang ini berhasil memaksa Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979. Sampai pada titik ini, belum ada entitas Palestina yang menjadi representasi perlawanan bangsa Arab yang berada di Palestina. Palestine Liberation Organization (PLO) memang telah dibentuk pada tahun 1964 oleh Liga Arab, tetapi statusnya sebagai representasi masyarakat Palestina baru ditegaskan pada tahun 1974.

Kehadiran PLO sebagai representasi resmi bagi rakyat Palestina telah membuat perjuangan Palestina semakin terkontrol, dan memudahkan Palestina untuk ikut serta dalam konferensi-konferensi internasional, karena status PLO sebagai gerakan pembebasan nasional yang diakui sebagai salah satu subyek hukum internasional. Meski telah memiliki organisasi yang resmi, masyarakat Palestina di tataran akar rumput tetap melancarkan perjuangannya secara otonom. Salah satu buktinya, rakyat Palestina melakukan perlawanan terhadap Israel atau yang dikenal dengan “Intifada”. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan rakyat Palestina terhadap bangsa Arab yang tidak lagi berjuang bersama-sama mereka, lalu PLO yang belum bisa menunjukkan posisinya sebagai representasi dari rakyat Palestina, dan juga tindakan represif dari Israel melalui pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh Palestina, penghancuran properti milik warga Palestina, dan juga pemindahan penduduk secara paksa (deportasi). Salah satu ciri khas Intifada di Palestina adalah pelemparan batu yang dilakukan oleh rakyat Palestina terhadap angkatan bersenjata Israel. Lahirnya Intifada pertama di Palestina, dan juga kematian Abu Jihad, telah menginspirasi beberapa pemimpin Palestina untuk memproklamasikan berdirinya negara Palestina pada tahun 1988. Semenjak tahun 1988, istilah “Palestina” untuk menggambarkan sebuah negara mulai dikenal. Meski pada tahun-tahun selanjutnya, PLO tetap menjadi representasi Palestina untuk berjuang di forum internasional, karena status Palestina sebagai negara belum diakui secara internasional.

Setelah terbentuknya PLO dan dideklarasikannya negara Palestina, sejumlah konferensi perdamaian antara Palestina dan Israel mulai marak dilakukan oleh negara-negara besar, seperti AS dan Russia. Konferensi perdamaian paling awal adalah Madrid Conference yang dilaksanakan pada tahun 1991, yang kemudian dilanjutkan dengan Oslo Accords pada tahun 1993. Oslo Accords menjadi salah satu tahapan penting dalam kronik perdamaian Palestina-Israel, karena memuat rencana-rencana perdamaian dan pembentukan negara Palestina. Bahkan dengan adanya Oslo Accords, Intifada yang telah berlangsung selama 5 tahun dapat dihentikan. Namun seiring terbunuhnya Yitzhak Rabin yang berperan penting dalam Oslo Accords, kesepatakan tersebut kembali mentah dan tidak dapat diimplementasikan. Setelah Oslo Accords, masih ada Hebron Agreement dan juga Wye River Memorandum yang tidak menghasilkan apapun bagi proses perdamaian Palestina dan Israel.

Pada tahun 2000, AS kembali berusaha untuk membuka jalan bagi kemungkinan perdamaian antara Palestina dan Israel. Pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat di Camp David, AS, kembali tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pada tahun ini pula, Intifada jilid ke-2 kembali muncul di masyarakat Palestina. Pasca Camp David Summit, masih ada upaya perdamaian melalui Beirut Summit yang diprakarsai oleh Arab Peace Initiative, dan juga proposal Peta Jalan atau Road Map for Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle East yang terdiri dari AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa (UE). Dan sama seperti upaya-upaya perdamaian sebelumnya, kedua pertemuan itu tidak berhasil mendamaikan Palestina dan Israel.

Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel.

Penutup

Sebagai salah satu konflik terpanjang dalam sejarah umat manusia, perseteruan antara Palestina dengan Israel harus ditanggapi dengan hati-hati. Karena begitu banyak aspek yang terlibat dalam konflik tersebut, sekaligus latar belakang yang sangat rumit, menjadikan isu ini sebagai isu yang sangat sensitif. Bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, konflik Palestina-Israel seringkali dibawa ke dalam ranah konflik agama, yang sesungguhnya merupakan konklusi yang salah.

Apabila sejarah konflik antara Palestina dengan Israel dipelajari secara lebih terperinci dan obyektif, maka bias argumentasi yang muncul akan semakin berkurang, dan permasalahan ini dapat dilihat secara jernih. Jika demikian, Indonesia dapat menentukan sikapnya dalam menghadapi isu ini, sekaligus menegaskan posisinya sebagai negara demokratis yang menerapkan politik bebas aktif.

Saturday, January 17, 2009

palestine

PALESTINA DI MATA MEREKA

Palestina, sebuah negara kecil dibagian barat Asia, merupakan sebuah negeri para Nabi. Dari sanalah pertama kali kiblat umat Islam, dari sana pula para nabi lahir. Tapi menurut sejarah, dari sanalah muncul beberapa permasalahan pelik berkaliber dunia.

Beberapa akhir ini, timbul suatu problem yang sangat menyita perhatian dunia. Agresi Israel ke Jalur Gaza mampu menyedot perhatian dunia kepada negara yang telah berhasil dipecah oleh Zionis Israel tersebut. Mulai dari negara-negara muslim yang tergugah dari mimpi panjang mereka, hingga kepada negara barat yang mulai menaruh simpati kepada Palestina akibat agresi tersebut. Tanpa terkecuali media-media yang ingin meliput secara ekslusif tentang agresi tersebut.

Pemberitaan yang muncul pada beberapa hari terakhirpun tak luput dari masalah yang ada di Palestina. Media-media elektronik maupun cetak berusaha menghadirkan berita langsung dari jarak dekat. Dengan menempuh resiko yang tinggi, mereka hadir langsung ke wilayah operasi militer Israel. Semenjak dimulai pada tanggal 27 Desember 2008, agresi tersebut telah menelan korban lebih dari 1000 nyawa. Menurut pemberitaan terakhir pada Jum'at, 16 Januari 2009, kondisi kota Gaza sangat berantakan. Gedung apartemen hancur, sekolah dibom, masjid menjadi sasaran tembak roket-roket biadab kaum Zionis ini.

Berbedanya pemberitaan yang terjadi, bukan karena ruwetnya persoalan yang ada di lapangan. Melainkan berbedanya ideologi dan kebijaksanaan yang berlaku pada media yang bersangkutan. Dalam hal ini bisa kita lihat berbedanya isi berita antara Kompas, Media Indonesia dan Republika.

Melihat latar belakang dari ketiga media massa tersebut, berbedanya isi pemberitaan merupakan hal yang biasa. Berita terkini dari ketiganya sangatlah menampakkan bahwa ketiganya adalah media yang berbeda ideologi. Mengenai kekejian Israel terhadap Palestina, Kompas menuliskan tentang tulisan yang menjurus untuk mengajak para pembaca setianya berpikir bahwa perjuangan Palestina telah berakhir. Kompas pada edisi Jum'at, 16 Desember 2009 memberitakan bahwa Gaza City telah bisa dilumpuhkan oleh tentara Zionis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mereka ingin mempengaruhi pembaca untuk berpendapat sama dengan Kompas dalam menanggapi kondisi terkini tentang Gaza.

Pemberitaan tentang Gaza antara Kompas dengan media lain sangatlah berbeda. Ketika Media Indonesia yang memberitakan hanya mengenai masalah gencatan senjata yang berlangsung alot, justeru Kompas "dibantah" dengan pemberitaan dari Republika yang notabene merupakan media massa berideologi Islami. Republika memberitakan tentang kondisi Gaza yang bahkan masih sulit ditembus oleh milter Israel. HAMAS yang menguasai Gaza masih melakukan perlawanan sengit kepada Israel.

Perbedaan ini sangat mencolok mengingat pemberitaan tersebut diterbitkan pada waktu yang sama. Hal ini justeru akan membuat pembaca bingung dalam memberikan persepsi tentang kondisi Gaza. Kompas yang melihat dari sisi lain setidaknya bisa memberikan konfirmasi ataupun keterangan yang lebih spesifik. Kompas yang sudah masyhur sebagai salah satu koran nasional, secara tidak langsung sudah "terbantahkan" oleh pemberitaan dari Republika.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa setiap berita harus kita cerna dengan seksama. Kita tidak boleh hanya terpaku pada satu media saja. Berikut ini kami kutipkan naskah pemberitaan Kompas.

GAZA JATUH KE TANGAN ISRAEL

Jumat, 16 Januari 2009 | 00:16 WIB

Laporan Wartawan Kompas, Trias Kuncahyono dari Rafah

RAFAH, JUMAT — Setelah pertempuran sengit seharian, akhirnya Gaza City, ibu kota Jalur Gaza, jatuh ke tangan Israel. Tank-tank Israel pun memasuki kota itu, Jumat (16/1).

Mengiringi momen tersebut, sempat terdengar lima kali ledakan bom yang disambut dengan rentetan tembakan, tetapi lokasi pastinya tak diketahui.

Sebelumnya diberitakan, puluhan truk pembawa bantuan kemanusiaan antre untuk masuk Jalur Gaza lewat pintu Gerbang Rafah, Mesir, Kamis petang atau malam waktu Indonesia. "Petang ini situasi di Rafah tenang. Tidak ada serangan pesawat tempur Israel. Biasanya daerah ini menjadi sasaran gempuran. Serangan udara hanya terjadi pada Kamis pagi," kata Trias dalam surat elektroniknya.

Sementara itu, ambulans pembawa korban tak henti-hentinya keluar dari Jalur Gaza. Sirene terus meraung-raung. Sayup-sayup terdengar bunyi rentetan tembakan senjata dari Jalur Gaza.

Seiring dengan kondisi itu, tank-tank Israel dikabarkan telah memasuki Gaza City sebagai tanda didudukinya ibu kota Jalur Gaza tersebut.